BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemerolehan bahasa (bahasa Inggris: language acquisition) adalah proses manusia mendapatkan kemampuan untuk menangkap, menghasilkan, dan menggunakan kata untuk pemahaman dan komunikasi. Kapasitas ini melibatkan berbagai kemampuan seperti sintaksis, fonetik, dan kosakata yang luas.Bahasa yang diperoleh bisa berupa vokal seperti pada bahasa lisan atau manual seperti pada bahasa isyarat. Pemerolehan bahasa biasanya merujuk pada pemerolehan bahasa pertama yang mengkaji pemerolehan anak terhadap bahasa ibu mereka dan bukan pemerolehan bahasa kedua yang mengkaji pemerolehan bahasa tambahan oleh anak-anak atau orang dewasa.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan tentang masalah yang di hadapai dalam pemerolahan bahasa dan perkembangannya, namun penulis akan menjelaskan secara singkat dan tidak sejalas yang semestinya para penumu jelaskan namun penulis membawak dari beberapa kutipan yang di temui oleh para pakar Bahasa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERKEMBANGAN DAN PEMEROLAHAN BAHASA ANAK
Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (Bl) (anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.
Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
Penelitian mengenai bahasa manusia telah menunjukkan banyak hal mengenai pemerolehan bahasa, mengenai apa yang dilakukan atau tidak dilakukan seorang anak ketika belajar atau memperoleh bahasa (Fromkin dan Rodman, 1998:318).
1. Anak tidak belajar bahasa dengan cara menyimpan semua kata dan kalimat dalam
2. sebuah kamus mental raksasa. Daftar kata-kata itu terbatas, tetapi tidak ada kamus yang bisa mencakup semua kalimat yang tidak terbatas jumlahnya.
3. Anak-anak dapat belajar menyusun kalimat, kebanyakan berupa kalimat yang belum pernah mereka hasilkan sebelumnya.
4. Anak-anak belajar memahami kalimat yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Mereka tidak dapat melakukannya dengan menyesuaikan tuturan yang didengar dengan beberapa kalimat yang ada dalam pikiran mereka.
Anak-anak selanjutnya harus menyusun “aturan” yang membuat mereka dapat menggunakan bahasa secara kreatif. Tidak ada yang mengajarkan aturan ini. Orang tua tidak lebih menyadari aturan fonologis, morfologis, sintaktis, dan semantik daripada anak-anak. Selain memperoleh aturan tata bahasa (memperoleh kompetensi linguistik), anak-anak juga belajar pragmatik, yaitu penggunaan bahasa secara sosial dengan tepat, atau disebut para ahli dengan kemampuan komunikatif. Aturan-aturan ini termasuk mengucap salam, kata-kata tabu, bentuk panggilan yang sopan, dan berbagai ragam yang sesuai untuk situasi yang berbeda. Ini dikarenakan sejak dilahirkan, manusia terlibat dalam dunia sosial sehingga ia harus berhubungan dengan manusia lainnya. Ini artinya manusia harus menguasai norma-norma sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Sebagian dari noraia ini tertanam dalam bahasa sehingga kompetensi seseorang tidak terbatas pada apa yang disebut pemakaian bahasa (language usage) tetapi juga penggunaan bahasa (language use) (Dardjowidjojo, 2000:275).
Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat. Dalam melangsungkan upaya memperoleh bahasa, anak dibimbing oleh prinsip atau falsafah ‘jadilah orang lain dengan sedikit perbedaan’, ataupun ‘dapatkan atau perolehlah suatu identitas sosial dan di dalamnya, dan kembangkan identitas pribadi Anda sendiri’.
B. BEBERAPA PANDANGAN TENTANG PERKEMBANGAN BAHASA
1. Pandangan Behavioristik
Kaum behavioris menekan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar diri si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui lingkungan. Istilah bahasa bagi kaum behavioris dianggap kurang tepat karena istilah bahasa itu menyiratkan suatu wujud, sesuatu yang dimiliki atau digunakan, dan bukan sesuatu yang dilakukan. Padahal bahasa itu merupakan salah satunperilaku, di antara perilaku-perilaku manusia lainnya. Oleh karena itu, mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal (verbal behavior), agar tampak lebih mirip dengan perilaku lain yang harus dipelajari.
Menurut pandangan ini berbahasa dianggap sebagai bagian dari perilaku manusia, seperti perilaku yang lain. Oleh karena itu, pembelajarannya harus dilakukan melalui rangsangan-rangsangan (Brown, 1987:17). Pembelajar dalam hal ini dianggap sebagai mesin yang memproduksi bahasa dengan lingkungan bahasa dianggap sebagai faktor penentunya, yakni sebagai rangsangannya.
Menurut kaum behavioris kemampuan berbicara dan memahami bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari lingkungannya. Anak dianggap sebagai penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak memiliki peranan yang aktif di dalam proses perkembangan perilaku verbalnya. Kaum behavioris bukan hanya tidak mengakui peranan aktif si anak dalam proses pemerolehan bahasa, malah juga tidak mengakui kematangan si anak itu. Proses perkembangan bahasa terutama ditentukan oleh lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungannya.
Menurut Skinner (1969) kaidah gramatikal atau kaidah bahasa adalah perilaku verbal yang memungkinkan seseorang dapat menjawab atau mengatakan sesuatu. Namun, kalau kemudian anak dapat berbicara, bukanlah karena “penguasaan kaidah” sebab anak tidak dapat mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan dibentuk secara langsung oleh factor di luar dirinya.
Menurut Skinner (dalam Baradja, 1990:31—32), perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, yaitu dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila hasil suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan; dan sebaliknya, bila hasilnya tidak menguntungkan, perilaku tersebut akan ditinggalkan. Inilah yang dikatakan belajar sebab inti belajar adalah adanya perubahan perilaku. Bila menyenangkan perilaku berbahasa akan dikerjakan lagi dan bila tidak sedikit demi sedikit akan ditinggal.
Kaum behavioris tidak mengakui pandangan bahwa anak menguasai kaidah bahasa dan memiliki kemampuan untuk mengabstrakkan ciri-ciri penting dari bahasa di lingkungannya. Mereka berpendapat rangsangan (stimulus) dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbahasa anak. Perkembangan bahasa mereka pandang sebagai suatu kemajuan dari pengungkapan verbal yang berlaku secara acak sampai ke kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip pertalian S-R (Stimulus-respons) dan proses peniruan-peniruan.
Berdasarkan pandangan behaviorisme ini, kebiasaan lama masuk ke dalam cara belajar kebiasaan baru. Oleh karena itu, dalam pembelajaran B2 munculnya interferensi diprediksikan besar sekali. Alat-alat gramatika B1 yang telah terprogram akan menginterferensi secara mudah pada pemerolehan B2 (Bright & Mc Gregor dalam Ellis, 1986:22).
2. Pandangan Nativisme
Nativisme adalah pandangan bahwa keterampilan-keterampilan atau kemampuan-kemampuan tertentu bersifat alamiah atau sudah tertanam dalam otak sejak lahir. Pandangan ini berlawanan dengan empirisme, teori tabula rasa, yang menyatakan bahwa otak hanya mempunyai sedikit kemampuan bawaan dan hampir segala sesuatu dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan.
Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran. Teori ini muncul dari filsafat nativisma (terlahir) sebagai suatu bentuk dari filsafat idealisme dan menghasilkan suatu pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas, pembawaan sejak lahir, dan faktor alam yang kodrati.
Pandangan kaum behaviorisme tentang bagaimana manusia belajar bahasa mendapat serangan yang tajam dari Chomsky. Serangan Chomsky (1959) pada Verbal Behavior karya Skinner (1957) tertuju pada dasar-dasar psikologis teori belajar bahasa yang digunakan kaum behavioris (Ellis, 1986:23). Baginya suatu teori belajar bahasa harus ditarik dari teori belajar behaviorisme yang umum (Van Eis et al., 1987:28; Hamid, 1987:14). Menurut Chomsky, pemerian stimulus eksternal dan respon yang sesuai, tetapi pemerian itu terutama harus merupakan pemerian tentang kemampuan bawaan manusia untuk belajar bahasa (Walkins, 1987:169).
Menurut pandangan mentalis, pemerolehan bahasa merupakan proses yang universal. Istilah proses mengacu pada dua arti: (1) urutan perkembangan dan (2) faktor-faktor yang menentukan bagaimana pemerolehan itu berlangsung. Umumnya, penelitian pemerolehan B1 menemukan adanya urutan yang kurang lebih tertentu yang harus dilalui anak dalam rangka menguasai kompetensi bahasa orang dewasa. Dalam hal inilah proses mengacu kepada tahap-tahap perkembangan yang diikuti anak.
Pada arti yang kedua, proses berhubungan dengan bagaimana anak menyusun kaidah bahasa dan bagaimana mengaturnya dari satu tahapan ke tahapan yang lain. Pandangan mentalis menegaskan bahwa proses-proses itu adalah internal dan beroperasi secara independen, yang terlepas dari pengaruh lingkungan.
Dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia kan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, maka ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.
Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya, pandangan Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi kemampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.
Ellis (1986:44) menyimpulkan pandangan mentalis tentang pemerolehan B1 sebagai berikut:
a. Bahasa merupakan kemampuan khusus manusia;
b. Keberadaannya tidak terikat oleh “otak” atau akal budi manusia (human mind) karena meskipun bahasa merupakan bagian alat-alat kognitif, bahasa terpisah dari mekanisme kognitif umum yang berkaitan dengan perkembangan intelektual;
c. Faktor utama pemerolehan B1 adalah piranti pemerolehan bahasa (LAD), yang secara genetis memengaruhi dan menyumbangkan seperangkat prinsip tata bahasa pada anak;
d. LAD itu berhenti perkembangannya karena usia;
e. Proses pemerolehan bahasa terdiri atas pengujian hipotesis dengan cara menghubungkan tata bahasa B1 pembelajar dengan universal grammar.
3. Pandangan Kognitif
Jean Piaget menyatakan bahwa bahasa itu bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, merupakan salah satu dianatara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa di strukturi oleh nalar, maka perkembangan bahasa harus berlandas pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi, jadi, urut-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa.
Chomsky pernah menyanggah konsep kognitivisme dari Piaget ini. Baliau menyatakan bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga lingkungan berbahasa tidak dapat menjelaskan struktur yang muncul di dalam bahasa anak. Oleh karena itu, menurut Chomsky, bahasa (struktur dan kaidah) haruslah diperoleh sacara alamiah.
Sebaliknya, Piaget menegaskan bahwa struktur yang kompleks dari bahasa bukanlah sesuatau yang diberikan oleh alam, dan bukan pula sesuatu yang di pelajari dari lingkungan. Struktur bahasa itu timbul sebagai akibat interaksi yang terus menerus antara tingkat fungsi kognitif si anak dengan lingkungan kebahasaannya. Struktur itu timbul secara tak terelakkan dari serangkaian interaksi. Oleh karena timbulnya tak terelakkan. Maka struktur itu tidak perlu tersediakan secara alamiah.
Kalau Chomsky berpendapat bahwa lingkungan tidak besar pengaruhnya pada proses pematangan bahasa, maka Piaget berpendapat bahwa lingkungan juga tidak besar pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual anak. Perubahan atau perkembangan intelektual anak sangat tergantung pada keterlibatan anak secara aktif dengan lingkungannya.
Bagaimana hubungan antara perkembangan kognitif dan perkembangan bahasa pada anak dapat kita lihat dari keterangan Piaget mengenai tahap paling awal dari perkembangan intelektual anak. Tahap perkembangan dari lahir sampai usia 18 bulan oleh Piaget disebut sebagai tahap “sensori motor”. Pada tahap ini dianggap belum ada bahasa karena anak belum menggunakan lambing-lambang untuk menunjuk pada benda-benda disekitarnya. Anak pada tahap ini memahami dunia melalui alat indranya dan gerak kegiatan yang dilakukannya. Anak hanya mengenal benda jika benda itu di alaminya secara langsung. Begitu benda itu hilang dari penglihatannya maka benda itu di anggap tidak ada lagi. Menjelang akir usia satu tahun barulah anak itu dapat menangkap bahwa obyek itu tetap ada (permanen). Meskipun sedang tidak di lihatnya. Sedang dilihat atau tidak benda itu tetap ada sebagai benda, yang memiliki sifat permanen.
Sesudah mengerti kepermanenan obyek anak mulai menggunakan symbol untuk mempresentasikan obyek yang tidak lagi hadir dihadapannya. Symbol ini kemudian menjadi kata-kata awal yang diucapkan si anak. Jadi, menurut pandangan kognitivisme perkembangan kognitiv harus tercapai lebih dahulu, dan baru sesudah itu pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa.
Perkembangan bahasa, baik menurut pandangan nativisme, behaviorisme, dan kognitivisme,tidak terlepas atau berkaitan dengan perkembangan-perkembangan lain yang dialami anak.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Psikologi linguistik adalah ilmu yang mempelajari mengenai penggunaan bahasa dan cara pemerolehan bahasa pada manusia. Terdapat tiga bidang kajian utama psikologi linguistik yaitu psikolinguistik umum, psikolingustik perkembangan dan psikolinguistik terapan. Psikolinguistik merupakan urat nadi pengajaran bahasa.Psikolingusitik dan pengajaran bahasa tidak dapat dipisahkan, karena focus atau tumpuan psikolinguistik adalah pemerolehan bahasa, disamping pembelajaran bahasa dan pengajaran bahasa. Focus kajian psikolingustik yaitu pemerolehan, pengajaran dan pembelajaran bahasa. Ketiga aspek tersebut berkaitan satu sama lain. Pemerolehan bahasa adalah proses yang berlaku di dalam otak seseorang anak ketika memperoleh bahasanya. Proses pemerolehan terjadi ketika anak sedang memperoleh bahasa terdiri dari dua aspek: pertama aspek performance yang terdiri dari aspek-aspek pemahaman dan pelahiran. Kedua aspek kompetensi (kemampuan linguistik). Kemampuan bahasa anak terdiri dari tiga bagian yaitu: kemampuan fonologi, semanti dan kalimat. Ketiga bagian ini diperoleh anaki secara serettak atau bersamaan.
Pemerolehan bahasa adalah proses-proses yang berlaku di dalam otak seorang anak ketika memperoleh bahasa ibunya .Pemerolehan bahasa anak dimulai dari lingkungannya terutama lingkungan keluarga, ini disebut pemerolehan bahasa pertama yang terjadi dalam kehidupan awal anak. Anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa pada umumnya menggunakan 4 strategi, yaitu imitasi, produktivitas, umpan balik dan prinsip oprasi. Sedangkan pemerolehan bahasa kedua dimaknai saat seseorang memperoleh bahasa lain setelah terlebih dahulu ia menguasai sampai batas tertentu bahasa ibu (bahasa pertama).
DAFTAR PUSTAKA
Hartati Tatat dkk. 2006. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah. Bandung: UPI Pres
Santosa P dkk. 2005. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta: UI
Pusat Penerbitan UT. Resmini N dkk. 2006 Pembinaan dan Pengembangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: UPI Pres.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar