Selasa, 12 April 2011

TAHUKA ENGKAU

“ Taukah engkau Ikal…?” “ Langit adalah kitab yang terbentang…” “ Sejak masa ozoikum, ketika kehidupan belum muncul, langit telah mencatat semua kejadian di muka bumi…” Pada setiap simbol ia bersabda, “ keseimbangan perawan, Leo sang singa, matahari pertama musim panas, bintang kastor, musim menyemai benih “.
“Zenith dan nadir, seperti akar ilalang yang menusuk-nusuk kakikku, menikam hatiku. Nanti, harus kujelajah separuh dunia, berkelana diatas tanah-tanah asing yang dijadikan  mimpi-mimpi, akan kutemui perempuan yang membuat hatiku kelu karena cinta, karena rindu yang menyikasa, untuk memahami kalimah misterius itu. Dikuburan usang, diantara nisan para pendusta agama itu, aku sadar aku telah belajar  mencintai hidupku dari orang lain yang membenci hidupnya.”
“Belitong menjelang malam, adalah semburan warna dari seniman impresi yang melukis spontan, tak dibuat-buat, dan memikat….. Masjid seperti oase bagi semua anak melayu udik. Disana, bukan hanya sekedar tempat salat dan mengaji, tapi tempat bermain dan membuat jani-janji. Masjid nan indah, tasbihnya berupa-rupa, kaligrafinya mempesona, dan pilar-pilar tingginya memantulkan suara…. Belum lagi satu kegembiraan yang aneh, kegembiraan yang secara ajaib menjelma kalau ramadhan tiba. Semuanya semakin indah karena keluarga kami memungut Arai, sepupu jauhku. Maka, aku memanggilnya
“Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain sepeerti benturan molekul uranium: meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar kea rah yang mengejutkan.”
“Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angina, dan menciut dicengkram dingin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penakluka. Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup!”
“Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seakan berguling ditelan langit sebelah barat. Bentuknya laksana pita kuning dan merah tua. Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu lalu terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembah-lembah nan luas. Didasar lembah sungai berliku-liku di antara pepohonan. Rumah-rumah petani Edensor yang terbuat dari batu-batu yang kukuh dan berwarna kelabu bak pulau ditengah lading yang diusahakan. Lading itu terbentang seperti tanjung yang hijau cerah diantar lereng bukit. Dipekarangan, taman bunga mawar dan asparagus tumbuh menjadi pohon  yang tinggi. Buah persik, buah pir, buah ceri, buah prem, bergelantungan diatas tembok selatan, berebut tempat dengan bunga-bunga mawar yang tumbuh liar…”.
Ibunda guru Muslimah Hafsari, adalah guruku yang pertama. Dulu, waktu aku masih SD,beliau pernah berpesan pada kami, murid-muridnya, para Laskar Pelangi, “ Jika ingin menjadi manusia yang berubah, jalanilah tiga halini: sekolah, banyak-banyak membaca Al-Qur’an, dan berkelana”. Aku paham sekolah dan membaca Al-Qur’an dapat mengubah orang karena disanalah tersimpan kristal-kristal ilmu. Baru disini, di Rumania, aku dapat menggenapi arti pesan itu.
Berkelana tidak hanya telah membawaku ke tempat-tempat yang spektakuler sehingga aku terpaku, tak pula hanya memberiku tantangan ganas yang menghadapkanku pada keputusan hitam putih, sehingga aku memahami manusia seperti apa aku ini. Pengembaraan ternyata memiliki paru-parunya sendiri, yang dipompa oleh kemampuan menghitung setiap resiko, berpikir tiga langkah ke depan sebelum langkah pertama diambil, integritas yang tak dapat ditawar-tawar dalam keadaan apapun, toleransi, dan daya tahan. Semua itu lebih dari cukup untuk mengubah mentalitas manusia yang paling bebal sekalipun. Para sufi dan mahasiswa filsafat barangkali melihatnya sebagai hikmah komuniukasi transcendental dengan sang maha pencipta melalui pencarian diri sendiri dengan menerobos sekat-sekat agama dan budaya.
Jalan-jalan desa menanjak berliku-liku dihiasi deretan pohon oak,berselang-seling di antara jerejak anggur yang diterlantarkan. Lebah madu berdengung mengerubuti petunia. Daffodil dan astuaria tumbuh sepanjang pagar peternakan, berdesakan di celah-celah bangku batu. Di belakang rumah penduduk tumpah ruah dedaunan berwarna oranye, mendayu-dayu karena belaian angina. Lalu terbentang luas padang rumput, permukaannya ditebari awan-awan kapas…
Aku bergetar menyaksikan nun di bawah sana,rumah-rumah penduduk berselang-seling di antara jerejak anggur yang terlantar dan jalan setapak berkelok-kelok. Aku terpana dilanda dejavu melihat hamparan desa yang menawan. Aku merasa kenal denga gerbang desa berukir ayam jantn itu, dengan bangku-bangku batu itu, dengan jajaran bunga daffodil dan astuaria dip agar peternakan itu. Aku seakan menembus lorong waktu dan terlempar ke sebuah negeri khayalan yang telah lama hidup dalam kalbuku. Aku bergegas meminta sopir berhenti dan menghambur keluar. Ribaun fragmen ingatan akan keindahan tempat ini selama belasan tahun, tiba-tiba tersintesa persis di depan mataku,indah tak terperi. Kepada seorang ibu yang lewat kubertanya,”Ibu dapatkah memberi tahuku nama tempat ini?”. Ia menatapku lembut,lalu menjawab. “Sure lof, it’s Edensor…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar